BAB
1. PENDAHULUAN
1.1. Skenario
Carol, 20 tahun adalah
mahasiswa yang akitf dalam olahraga. Carol berlatih rutin dalam bola basket.
Beberapa kali Carol ikut dalam kejuaraan antar perguruan tinggi. Bila berlatih
sangat berat, Carol dapat mengalami sesak, meskipun hal ini jarang terjadi pada
Carol saat ini. Sejak kecil Carol menderita asma. Seiring usia, penyakit asma
pada Carol semakin jarang terjadi. Hal ini dialami sejak Carol aktif
berolahraga. Carol selalu menjalani pemeriksaan faal paru sebelum pertandingan
bola basket. Hasil pemeriksaan hingga saat ini menunjukkan normal.
1.2. Kata Kunci
·
Mahasiswa
·
20 tahun
·
Aktif olahraga
·
Sesak nafas
·
Asma berangsur hilang
·
Pemeriksaan faal paru normal
1.3. Rumusan Masalah
·
Bagaimana anatomi sistem respirasi
(traktus respiratorius)?
·
Bagaimana histologi sistem respirasi
(traktus repiratorius)?
·
Apa pengertian dari volume paru,
kapasitas paru, ruang rugi (dead space)?
·
Bagaimana mekanisme ventilasi dan difusi
gas O2 dan CO2?
·
Bagaimana pengaruh olahraga pada sistem
respirasi?
·
Apa pengertian asidosis respiratorik,
alkolisis respiratorik, asidosis
metabolik, alkolisis metabolik?
·
Bagaimana mekanisme kompensasi asidosis
respiratorik, alkolisis respiratorik, asidosis
metabolik, alkolisis metabolik?
·
Bagaimana perbedaan orang normal dengan
orang yang mengalami kelainan pada sistem respirasi dari segi anatomi,
fisiologi, dan histologi?
·
Bagaimana cara pemeriksaan faal paru?
1.4.
Hipotesis
Asma Carol berkurang karena bertambahnya
usia dan aktif berolahraga.
BAB 2.
PEMBAHASAN
Sistem respirasi berfungsi mengambil oksigen
(O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh untuk dan mentranspor
karbondioksida (CO2) yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh ke atmosfer
(Sloane, 2003: 266).
2.1. Anatomi Sistem Respirasi
A. Hidung
atau Nasal
Hidung merupakan
saluran udara yang pertama berfungsi sebagai penyaring udara pernafasan yang
dilakukan oleh bulu-bulu hidung, menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa,
dan membunuh kuman-kuman yang masuk bersama udara pernafasan oleh leukosit yang
terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung. Hidung mempunyai dua lubang (cavum nasi) dan
dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalam terdapat bulu-bulu yang
berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran-kotoran yang masuk kedalam
lubang hidung. Bagian luar dinding terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri
dari otot-otot dan tulang rawan, dan lapisan dalam terdiri dari 3 tulang hidung
atau turbinate bone yaitu konka nasalis superior, konka nasalis medius, dan
konka nasalis inferior.
Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang
atas. Bagian atas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut
sinus paranasalis (sinus maxillaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis
pada rongga tulang dahi, sinus sphenoidalis pada rongga tulang baji, dan sinus
ethmoidalis pada rongga tulang tapis. Pada sinus ethmoidalis, keluar
ujung-ujung saraf Nn. Olfactorii yang menuju ke konka nasalis. Konka nasalis
terdapat sel-sel penciuman terutama di bagian atas.
Di
sebalah belakang konka bagian kiri-kanan dan sebelah atas dari langit-langit
terdapat satu lubang pembuluh darah yang menghubungkan rongga tekak dengan
rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva (Eustachii) yang
menghubungka telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan
dengan saluran air mata disebut tuba lakrimalis.
B. Pharynx
Pharynx terbagi
atas nasopharynx, oropharynx, dan larynopharynx. Nasopharynx merupakan ruangan
yang ada di belakang hidung dan mulut, oropharynx ada di bawah nasopharynx dan
di belakang cavum oris, sedangkan larynopharynx merupakan bagian terbawah dari
pharynx antara oropharynx di sebelah superior dan oesophagus di sebelah
inferior.
C. Larynx
Larynx merupakan
bentuk pipa silindris dari pharynx dan pada superior trachea terdapat A.
Carotis communis, Mm. Sternocleidomastoideus, V. Jugularis, dan N. Vagus berada
di bagian sinistra dan dextranya. Larynx memiliki fungsi untuk jalan udara ke
paru dan sebaliknya, untuk mengeluarkan serta menghambat masuknya benda asing
ke trachea. Pada bagian inferior larynx terdapat lipatan pada bagian terbawah
serta arpeturanya larynx disebut plica ventrikularis, sedangkan di bawahnya
terdapat plica vocalis yang akan bergetar membentuk suara jika dilalui udara.
D. Trachea
Trachea
merupakan cincin yang selalu terbuka dengan cincin tulang rawan hyalin
berbentuk C dengan panjang sekitar 12-14 cm dan diameter 2-3 cm. Trachea akan
selalu terbuka karena adanya cincin-cincin tulang rawan sehingga tidak dapat
mengalami collaps. Trachea berjalan ke cavum posterior thorax dari aorta dan
terdapat percabangan (bifurcatio) ke bagian kiri dan kanan kanansebagai
bronchus primarius sinistra dan dextra. Tepat pada bifurcatio bronchus terdapat
tonjolan berbentuk setengah ligkaran yang disebut carina. Diantara
cincin-cincin cartilago terdapat otot trachea dan jaringan ikat yang
mempertahankannya agar dapat tetap terbuka. Glandula thyroid tampak menutupi
sebagian anterior dan lateral trachea.
E. Bronchus
Bronchus primarius
dextra lebih pendek dibandingkan bronchus primarius sisnistra, tetapi sudut
yang dibentuk lebih lebar daripada sinistra. Akibatnya bila ada corpus alienum
(benda asing) yang masuk maka akan lebih mudah memasuki bronchus primarius
dextra. Dinding bronchus primarius sama dengan trachea namun di dalam paru
cincin cartilago tersebut akan membentuk O yang lebih kecil. Bronchus akan
menjadi semakin kecil hingga terbentuk bronchiolus dengan diameter 1 mm.
F. Bonchiolus
Bronchiolus
mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut
tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
·
Bronchiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan
menjadi bronkiolus terminalis (yang mempunyai kelenjar lendir dan silia).
·
Bronchiolus Respiratorius
Bronkiolus terminalis kemudian
menjadi bronkiolus respirstori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran
transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
·
Ductus Alveolaris dan Saccus Alveolaris
Bronkiolus respiratori kemudian
mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian menjadi alveoli.
G. Alveoli
Merupakan tempat
pertukaran oksigen dan karbondioksida. Terdapat sekitar 300 juta yang jika
bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2.
Terdiri atas 3 tipe, yaitu sel-sel alveolar tipe I : sel epitel yang membentuk dinding alveolus, sel-sel alveolar tipe II: sel yang aktif secara metabolik dan mensekresikan surfaktan (suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps), dan sel-sel alveolar tipe III: makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan.
Terdiri atas 3 tipe, yaitu sel-sel alveolar tipe I : sel epitel yang membentuk dinding alveolus, sel-sel alveolar tipe II: sel yang aktif secara metabolik dan mensekresikan surfaktan (suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps), dan sel-sel alveolar tipe III: makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan.
H. Pulmo
Pulmo terletak
di dalam didalam cavum thorax yang dibentuk oleh vertebra thracalis, costa, dan
manubrium sterni. Diapraghma berada sebagai batas bawah dan sebagai batas
antara cavum thorax dan cavum abdominalis. Mediastinum terletak dibagian medial
berisi jantung, aorta, vena cava, truncus pulmonaris, jaringan ikat dan
jaringan lymph. Mediastinum terbagi atas mediastinum superior berisi trachea,
oesophagus, pembuluh darah aorta, truncus pulmonaris, N. Vagus, N. Phrenicus,
dan jaringan ikat sedangkan mediastinum inferior terbagi atas anterior berisi
jaringan ikat, lemak dam arteria.
Mediastinum medius berisi jantung dan
pericardium. Mediastinum posterior berisi oesophagus, N. Vagus. Aorta
thorachalis dan pembuluh anteries dan vena cava. Di cavum thorax terdapat dua
pulmo kiri dan kanan, sifatnya spongious terletak di dalam cavum thorax. Pulmo
memiliki bagian apex dan basis, bagian costal, diaphragm, dan hilus tempat
keluar masuknya pembuluh darah yang memberikan nutrisi kepada paru. Di paru
kanan dapat ditemukan fissura oblique dan fissura horizontalis yang membedakan
paru kanan menjadi lobus superior medius dan inferior sedangkan pada bagian
kiri hanya ditemukan fissura oblique sehingga hanya terdapat 2 lobus yaitu
lobus superior dan inferior.
Paru terbungkus
dalam jaringan epithel yang disebut pleura yang menempel pada paru disebut
pleura viceralis dan yang menempel pada dinding thorax disebut pleura
parietalis. Diantara kedua lapisan pleura ini terdapat cairan serous untuk
mempermudah gesekan paru. Selain dilapisi oleh pleura pulmo juga diindungi oleh
thorax.
Paru diinervasi
oleh saraf parasimpatis dan saraf simpatis. Otot polos saluran pernafasan
diinervasi oleh nervus vagus aferen dan nervus vagus eferen (kolinergik
posganglionik). Pleura parietalis diinervasi oleh nervus intercostalis dan
nervus phrenicus, sedangkan bagian pleura visceralis tidak diinervasi oleh
saraf apapun (Djojodibroto, 2009: 21).
2.2. Histologi Respirasi
Sistem
respirasi dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Bagian konduksi (penyalur) terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakhea, dan bronkiolus
terminalis. Bagian konduksi berfungsi menyaring, membasuh, melembabkan dan
menghangatkan udara.
2.
Bagian Respirasi yang terdiri dari bronkiolus respiratorik sampai alveoli. Berfungsi
untuk pertukaran gas.
A. Rongga Hidung (Cavum Nasi)
Cavum
nasi dipisahkan oleh septum nasi. Cavum
nasi dibagi menjadi vestibulum nasi/regio vestibularis yang memiliki vibrissae/rambut
halus untuk menyaring udara dan bagian respiratorik. Bagian respiratorik dari cavum nasi dibagi lagi menjadi regio respiratoria yang dilapisi mukosa
respiratoria dan regio olfaktoria yang
dilapisi mukosa olfaktoria. Kedua regio ini memiliki perbedaan sebagai berikut:
1.
Regio respiratorik terdapat pada konka nasalis media-inferior,dilapisi oleh epitel berderet silindris
tipis dengan kinosilia dan sel goblet, membran basal jelas, jaringan ikat
kendor berisi sinus venosus, dan ada Schnederian
membarane yaitu lamina propia menyatu
dengan periost (muko-periosteum) atau perikondrium (muko-perikondrium).
2. Regio olfatorik lokasinya di atap cavum nasi, konka nasalis superior dan septum nasi 1/3 atas, dilapisi oleh epitel berderet silindris tebal tanpa kinosilia dan sel goblet, tapi punya sel pembau, sel basal, dan sel penyangga. Membran basal tidak jelas. Jaringan ikat kendor berisi sinus venosus dan kelenjar serous murni (kelenjar bowman) dan ada schnederian membran serta berkas-berkas saraf (fila olfactoria).
2. Regio olfatorik lokasinya di atap cavum nasi, konka nasalis superior dan septum nasi 1/3 atas, dilapisi oleh epitel berderet silindris tebal tanpa kinosilia dan sel goblet, tapi punya sel pembau, sel basal, dan sel penyangga. Membran basal tidak jelas. Jaringan ikat kendor berisi sinus venosus dan kelenjar serous murni (kelenjar bowman) dan ada schnederian membran serta berkas-berkas saraf (fila olfactoria).
B.
Farynx
Farynx
adalah jalan udara dan makanan
terdiri dari nasofarynx, orofarynx dan larynxofaring.
C.
Larynx
Larynx merupakan penghubung
antara farynx dan trachea. Memiliki struktur khusus yaitu plika ventrikularis (epitel
berderet silindris, tidak memiliki muskulus vokalis dan memiliki kelenjar di
mukosanya) dan plika vokalis (epitel berlapis pipih, punya muskulus vokalis, ligamentum vokalis dan
bisa menghasilkan suara) serta epiglotis yang dapat membuka dan menutup agar makanan dan udara tidak bercampur.
D.
Trachea
Trachea
memilki dinding yang diperkuat tulang
rawan hialin. Dihubungkan oleh muskulus trakealis. Punya lapisan epitel dan
lamina propia. Adapula tunika mukosa, submukosa, tulang rawan hialin dan tunia
adventitia.
E.
Bronchus
Bronchus
memiliki cabang-cabang yaitu
bronchus primer, bronchus besar, bronchus interlobaris, bronchus intralobaris,
bronchiolus terminalis dan bronchiolus respiratorius. Bronchus dan
cabang-cabang ini terdiri dari tunika mukosa, tunika submukosa, tulang rawan
hialin, dan tunika adventitia kecuali bronkiolus terminalis dan respiratorius
yang tidak memiliki tulang rawan hyalin.
F.
Pulmo
Alveoli
punya sabut retikuler, sabut elastis dan
dilapisi oleh septum interalveolare/epitel selapis pipih). Septum
interalveolare memiliki tipe-tipe sel yaitu tipe I ( penutup pada permukaan
alveoli, sel pipih dengan inti pipih dan sitoplasma sedikit) dan sel tipe II
(bentuk kuboid, dipojok dinding alveoli, inti vaskuler, sitoplasma banyak dan
bervakuola, serta mengandung sitosom yang menghasilkan surfaktan yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan anti kolaps serta memudahkan pengembungan
alveoli. Ada sel tambahan berupa makrofag alveolar, fibroblast da sel-sel darah
(Amindariati, 2013: 109-117).
2.3. Volume Paru, Kapasitas Paru, dan
Ruang Rugi (Dead Space)
Volume paru dibedakan
jadi dua berdasarkan cara pengukurannya, yaitu volume paru statis dan volume paru dinamis. Volume paru statis
dibedakan lagi menjadi 4 macam volume :
1.
Volume Tidal (VT):
volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi setiap kali kita bernapas secara
normal. Besarnya kira–kira 500 ml.
2.
Volume Cadangan
Inspirasi (IRV): volume udara maksimal yang masih bisa kita hirup setelah melakukan
inspirasi secara normal/di atas volume tidal. Besarnya kira–kira 3000 ml.
3.
Volume Cadangan
Ekspirasi (ERV): volume udara maksimal yang masih bisa kita ekspirasikan
setelah melakukan ekspirasi secara normal/dibwah volume tidal. Besarnya kira–kira
1100 ml.
4.
Volume Residu
(RV): volume udara yang masih tetap berada di dalam paru setelah ekspirasi
paling kuat. Besarnya kira–kira 1200 ml.
Volume paru dinamis
adalah volume paru yang pengukurannya dilakukan dengan paksaan. Volume ini
dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.
Force Vital
Capacity (FVC): kapasitas udara di dalam paru yang dapat diekspirasikan secara
paksa setelah inspirasi maksimal. Force Vital Capacity ini biasanya digunakan
untuk mengetahui apakah ada gangguan nafas restriksi di dalam alat pernafasan
seperti Pneumothorax. Nilai FVC
normal biasanya ≥80 % FVC standar.
2.
Force Expiratory
Capacity (FEV): kapasitas udara di dalam paru yang dapat diekspirasikan secara
paksa setelah inspirasi maksimal setiap detiknya. Sehingga penjumlahan dari FEV
tiap detiknya dalam suatu rentang waktu dapat disebut sebagai FVC. Nilai FEV
sendiri yang penting dan sering digunakan adalah FEV 1 (detik pertama).
Sehingga bila nilai FEV1 lebih rendah dari 80%, maka orang tersebut
mengalami gangguan nafas obstruktif di dalam alat pernafasannya, seperti emfisema/
ashtma.
Kapasitas
Paru adalah suatu kombinasi dari volume–volume paru dan berfungsi untuk menguraikan
peristiwa–peristiwa dalam siklus paru. Kapasitas paru juga dibedakan menjadi 4
macam kapasitas :
1.
Kapasitas Total
Paru (TLC): penjumlahan volume tidal, volume cadangan inspirasi, volume
cadangan ekspirasi dan volume residu. Sehingga kapasitas ini sama dengan volume
maksimum yang dapat mengembangkan paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat
mungkin. Besarnya kira–kira 5800 ml.
2.
Kapasitas
Inspirasi (IC): penjumlahan volume tidal dengan volume cadangan inspirasi.
Sehingga kapasitas ini sama dengan volume maksimal yang dapat dihirup
seseorang. Besarnya kira–kira 3500 ml.
3.
Kapasitas Vital
Paru (VC): penjumlahan volume cadangan inspirasi, volume tidal dan volume
cadangan ekspirasi. Sehingga merupakan volume udara maksimum yang dapat
dikeluarkan oleh paru–paru setelah melakukan inspirasi maksimal. Besarnya kira–kira
4600 ml.
4.
Kapasitas Residu
Fungsional (FRC): penjumlahan volume residu dengan volume cadangan ekspirasi.
Sehingga kapasitas ini adalah volume udara total di dalam paru setelah ekspirasi
normal. Besarnya kira–kira 2300 ml.
Ruang
rugi (dead space) adalah ruangan di
dalam saluran nafas yang tidak berfungsi sebagai tempat difusi gas. Sehingga
udara yang berada di dalam ruangan ini hanya berfungsi untuk mengisi saluran
nafas. Ruang rugi ini meliputi daerah tanpa alat pertukaran/difusi gas yaitu alveous.
Pada umumnya volume ruang rugi hanya sebesar 150 ml. Ruang rugi dibedakan
menjadi 2, yaitu Ruang rugi anatomis dan fisiologis. Ruang rugi anatomis
berawal dari hidung hingga brochiolus terminalis sedangkan Ruang rugi fisiologis meliputi ruang rugi anatomis dan
alveolus yang tidak berfungsi secara normal. (Guyton & Hall, 2007:
499-503).
2.4.
Mekanisme
Ventilasi dan Difusi gas O2 dan CO2
Ventilasi adalah proses
pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli terjadi karena perubahan
tekanan antara intrapulmonal dan atmosfer. Ventilasi dibagi menjadi 2, yaitu
inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi volume pulmo akan meningkat sehingga
tekanan intrapulmonal diafragma lebih rendah dari pada atmosfer, maka udara
akan masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya, saat ekpirasi volume pulmo akan menurun
sehingga udara akan terhembus keluar. Pada pernafasan normal, inspirasi hampir
sempurna dapat dicapai oleh kontraksi diafragma saja dengan cara meningkatkan
volume/penurunan tekanan intra pulmonal.
Ekspirasi hampir sempurna pun dapat dicapai dengan relksasi diafragma saja.
Pada pernafasan kuat, inspirasi dibantu oleh M. Intercostalis eksterna, M. Serratus
anterior, M. Sternochleidomasoideus, M. Pectoralis Manyor, M. Pectoralis Minor
dan M. Scalanes yang mengelevasi costa sehingga memperbesar volume thoraks dan
secara bersamaan volume pulmo ikut meningkat (tekanan intra pulmo berkurang).
Ekspirasi juga dibantu oleh kontraksi M. Abdominalis dan M. Intercostalis
interna yang mengkomperasi pulmo (menurunkan tekanan pulmo) (Guyton & Hall,
2007: 495-496).
Difusi merupakan proses
petrukaran gas antara alveoli dengan darah pada kapiler paru dan terjadi
melalui membran respirasi yang merupakan dinding alveolus yang sangat tipis
dengen ketebalan rata-rata 0,5 mikron. Proses pertukaran ini terjadi karena
perbedaan tekanan parsial O2 dan CO2 antara alveoli dan
kapiler baru. Saat difusi, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
secara simultan. Pada waktu inspirasi, oksigen akan masuk ke dalam kapiler
pulmo dan saat ekspirasi karbondioksida akan dilepas kapiler paru ke alveoli
untuk dibuang ke atmosfer. PO2 (tekanan parsial oksigen) pada
alveoli sebesar 104 mmHg dan jauh lebih besar dari PO2 pada kapiler
ini. Hal ini disebabkan oleh O2 banyak dikeluarkan ke jaringan
perifer. Perbedaan tekanan parsial ini menyebabkan O2 berdifusi ke
dalam kapiler dan <3% larut dalam plasma darah dan sisanya terikat dengan Hb
menjadi HbO2. Kemudian sampai pada jaringan yang membutuhkan O2,
Hb melepas O2 sehingga dapat dipakai dalam metabolisme karena PO2
di jaringan selalu lebih kecil daripada PO2 di pembuluh arteri. CO2
yang dihasilkan setelah metabolisme akan kembali masuk ke dalam pembuluh darah
karena PCO2 intrasel (46 mmHg) lebih besar dari pada PCO2
di pembuluh darah (45 mmHg). Perbedaan tekanan yang kecil ini dapat ditutup
dengan kemampuan difusi CO2 yang 20 kali lebih cepat dari pada
kemampuan O2. Sebanyak 7% CO2 telarut dalam plasma, 23%
CO2 akan langsung berikatan dengan Hb, dan sisanya (70%) akan
berikatan dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3)
dibantu oleh enzim karbonik anhidrase akan pecah menjadi H+ dan HCO3-.
H+ akan berikatan dengan Hb dan HCO3- keluar
ke plasma dan digantikan oleh Cl- yang masuk ke sel darah merah.
Sampai di kapiler alveoli, reaksi berkebalikan terjadi sehingga CO2
dapat didifusikan balik ke alveoli karena PCO2 kapiler (46 mmHg)
lebih besar dari PCO2 alveoli (40 mmHg) sehingga dikeluarkan ke
atmosfer (Guyton & Hall,
2007: 527-529).
2.5.
Sistem Respirasi saat Berolahraga
Saat olahraga, darah di
vena mengalami penurunan PO2 karena lebih banyak oksigen yang
dipakai oleh jaringan dan peningkatan PCO2 akibat kadar CO2
yang meningkat di dalam jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan O2
dan menurunkan kadar CO2 di dalam darah, tubuh akan meningkatkan frekuensi
dan volume inspirasi O2, dan peningkatan ekspirasi CO2.
Pada olahraga ringan sampai sedang, ventilasi alveolar PO2, PCO2,
dan pH arterial bertahan sampai nilai yang mendekati normal. Olahraga berat
akan meningkatkan metabolisme anaerobik sehingga meningkatkan produksi asam
laktat yang mengakibatkan pH arterial menurun. Hal ini akan memberikan stimulus
ekstra terhadap pernafasan melalui kemoreseptor yang berhubungan dengan
ventilasi dan konsumsi O2 (Ward, 2008: 39).
2.6.
Asidosis dan Alkalosis
Asidemia didefinisikan
sebagai kondisi keasaman darah ditandai dengan pH darah <7,35. Proses
fisiolgis yang menyebabkan asidemia disebut asidosis. Asidosis dibagi menjadi
2, yaitu asidosis respiratori dan asidosis metabolik. Asidosis respiratori
adalah keasaman darah yang berlebihan karena penumpukan CO2 dalam darah sebagai akibat dari fungsi
paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Mekanisme kompensasinya melakukan
hiperventilasi dan eksresi CO2 dan ginjal meningkatkan ekskresi H+
dan retensi bikarbonat yang mengembalikan pH ke normal. Asidosis metabolik
adalah keasaman darah yang berlebihan yang ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat
dalam darah. Mekanisme kompensasinya dengan meningkatkan ventilasi alveolar
yang menurunkan PaCO2 dan meningkatkan ekskresi H+ dan
retensi bikarbonat pada ginjal.
Alkalemia didefinisikan
sebagai kondosi alkalin darah yang ditandai pH >7,45. Proses fisiologis
penyebab alkalemia disebut alkalosis. Alkalosis dibagi menjadi 2, yaitu
alkalosis respiratori dan alkalosis metabolik. Alkalosis respiratori adalah
suatu keadaan dimana pH darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan
dalam, sehingga menyebabkan kadar CO2 dalam darah menjadi rendah.
Mekanisme kompensasinya terjadi hipoventilasi alveolar dengan menahan CO2
dan ginjal menahan H+ dan mengeluarkan bikarbonat sehingga pH darah
kembali normal. Alkalosis metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam
keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat. Mekanisme kompensasinya hipoventilasi
alveolar dengan meningkatkan PaCO2 meningkatkan retensi H+
serta mengeluarkan bikarbonat sehingga pH kembali normal (Tambayong, 2000: 41-46).
2.7.
Perbedaan Orang Normal dengan Orang yang Mengalami
Kelainan Pada Sistem Respirasi
Pada orang yang
mengalami kelainan pada sistem respirasi, seseorang menjadi sangat dispnea
akibat pembentukan CO2
yang berlebihan dalam cairan tubuh. Namun, untuk mencapai gas O2
dan CO2
dalam batas normal orang tersebut harus bernafas dengan kuat. Aktivitas
otot-otot pernafasan yang kuat sering kali memberi sensasi dispnea pada orang
tersebut. Fungsi pernafasan orang tersebut mungkin sudah normal kembali, tapi
masih mengalami dispnea karena perasaannya masih abnormal, ini yang disebut
dispnea neurogenik/dispnea emosional. Dispnea/ sesak nafas juga ditimbulkan
oleh kolaps paru: bronkus dan bronkiolus tersumbat lalu alveolus dibelakangnya
diabsorbsi yang menyebabkan kolaps, emfisema: adanya udara berlebih dalam paru
dan pneumotoraks: udara masuk kedalam pleura akibat robekan /lubang.
Orang yang Normal
|
Orang yang Dispnea
|
|
Volume Tidal
|
500 ml
|
250 ml
|
Frekuensi
|
12
|
30
|
Ket: Volume Tidal: volume udara
yang diinspirasi/ diekspirasi tiap kali bernafas normal dan Frekuensi: jumlah
setiap kali bernafas dalam 1 menit.
2.8.
Pemeriksaan Faal Paru
Bagi orang yang menderita gangguan pada sistem respirasi
maka pemeriksaan rutin sangatah penting karena melalui pemeriksaan ini kondisi
sistem respirasi secara umum dapat diketahui sehingga gangguan tersebut dapat
segera diobati. Salah satu pemeriksaan faal pada sistem respirasi adalah dengan
menggunakan spirometri. Spirometri merupakan alat sederhana yang
digunakan untuk mengukur volume udara dalam paru. Pada pemeriksaan ini, penderita bernafas ke
sebuah mouthpiece yg terhubung
dengan spirometer. Hasil dari pemeriksaan spirometri ini disebut spirogram (Guyton & Hall, 2007: 499-503).
Hal-hal yang perlu disiapkan sebelum melakukan pemeriksaan antara lain alat,
teknisi dan subjek. Seorang teknisi perlu memenuhi kriteria yang diperlukan
seperti: terlatih, mengerti tujuan diadakan pemeriksaan ini dan dapat menilai
hasil, sedangkan untuk menjadi seorang subjek pemeriksaan perlu mengerti tujuan
pemeriksaan spirometri, bebas rokok minimal 2 jam, tidak boleh makan terlalu
kenyang, dan berpakaian tidak ketat.
Indikasi
diadakannya
pemeriksaan ini adalah setiap keluhan sesak, penderita asma stabil, penderita
PPOK stabil, evaluasi penderita asma tiap tahun dan penderita PPOK tiap 6
bulan, penderita yang akan dianestesi umum, pemeriksaan berkala pekerja yang
terpajan zat dan pemeriksaan berkala pada perokok dan menilai status faal paru.
Pemeriksaan VEP 1 menggunakan
spirometri terlebih dulu diajarkan cara meniup yang benar dengan alat tersebut.
Sedangkan cara pengukuran VEP1 sebagai berikut: 1. Dilakukan dengan cara
duduk alat dipegang tangan sebelah kanan,
2. Pasang penjepit hidung, 3. Penderita disuruh menarik nafas
sedalam mungkin namun tidak dipaksa kemudian mouthpiece diletakkan ke dalam mulut dengan gigi mengelilingi sekitarnya,
4. ditiup sekuat dan sekeras mungkin sekuat tenaga dan mengeluarkan udara yang berasal dari paru-paru penderita, 5. Pemeriksaan
dilakukan 3 kali dan diambil hasil yang reproducible (Guyton & Hall,
2007: 552).
Sistem respirasi pada
manusia terdiri dari hidung atau nasal, farinx, larinx, trachea, bronchus,
bronchiulus, bronchiolus terminalis, bronchios respiratorius, ductus alveolaris
dan saccus alveoaris dan pulmo yang memili ciri khas tersendiri.
Volume paru dibagi dua,
yaitu volume paru statis dan volume paru
dinamis. Kapasitas Paru adalah suatu kombinasi dari volume–volume paru dan
berfungsi untuk menguraikan peristiwa–peristiwa dalam siklus paru. Ruang rugi (dead space) adalah ruangan di dalam
saluran nafas yang tidak berfungsi sebagai tempat difusi gas.
Sesak nafas akan berangsur-angsur hilang bila penderita
melakukan olahraga secara rutin. Tubuh yang sedang berolahraga akan membutuhkan
O2 lebih banyak, untuk itu sistem respirasi akan mempercepat / memperkuat
sistem ventilasi dan melatih saluran pernapasan untuk terbiasa menyediakan O2
yang banyak bagi tubuh serta memperlebar saluran nafas. Umur seseorang juga
berperan penting dalam kematangan sistem respirasi untuk berfungsi sebagaimana
mestinya. Bagi orang yang menderita
gangguan pada sistem respirasi maka pemeriksaan rutin sangatah penting karena
melalui pemeriksaan ini gangguan sistem respirasi dapat langsung diobati.